Eksposur Lokal tentang Trafficking di NTT

oleh:
Saralince Bunga Tadu
Mahasiswa STPMD-APMD Yogyakarta

Sejarah terjadinya trafficking di Indonesia
Pada awalnya, kebijakan penempatan buruh migran adalah reproduksi kebijakan kolonial Belanda yang pada saat itu membutuhkan buruh perkebunan untuk menggarap lahan-lahan perekebunan di kawasan Sumatera. Hingga kemudian juga berlangsung pengiriman orang Jawa dan orang India ke Suriname untuk tujuan yang sama. Pola-pola tersebut adalah mobilisasi tenaga kerja untuk kepentingan kolonial. Sementara pola migrasi orang Bugis, Madura, Bawean, Sasak dan Flores ke Malaysia Semenanjung dan Sabah. Sementara jalur migrasi tenaga kerja ke Timur Tengah terjadi karena “efek samping” perjalanan ibadah haji dan umrah. Disamping itu, kerjasama serikat buruh berbasis Islam juga turut serta memperkuat perikatan tersebut.

Pada saat rezim Soeharto, belum ada kebijakan yang signifikan dalam mengatur dan mengelola penempatan buruh migran, kecuali kebijakan keimigrasian. Dalam UU No 14/1967 tentang ketenagakerjaan juga terkandung satu pasal tentang penempatan buruh migran. Jadi jelas terlihat, pada saat Indonesia masih bergelimang dengan rejeki minyak, kebijakan tentang penempatan buruh migran keluar negeri hanyalah kebijakan reaktif dari adanya migrasi tenaga kerja yang sebelumnya dilakukan secara perorangan ataupun melalui jalur-jalur tradisional. Migrasi tenaga kerja pada masa Indonesia mengalami booming minyak masih belum dilirik sebagai penopang ekonomi. Namun ketika minyak sudah menjauhi Indonesia, barulah sektor ini dilirik. Dalamn dua dekade (1980-an dan 1990-an) terjadi booming bisnis penempatan buruh migran ke Arab Saudi. Migrasi tenaga kerja menjadi sektor bisnis baru yang memunculkan perusahaan penempatan buruh migran yang sebelumnya bersifat reaktif (pasif) menjadi kebijakan regulative (pengaturan). Dalam dekade ini pula terjadi penataan penempatan buruh migran ke Malaysia. Jika sebelumnya migrasi pekerja berlangsung secara Voluntary (spontan), maka kemudian harus diatur melalui perusahaan pengerah tenaga kerja dan mulailah proses kriminalisasi untuk mereka yang bekerja di Malaysia tanpa melalui perusahaan pengerah tenaga kerja dengan sebutan TKI illegal/pendatang haram.

Modal utama pemerintah dalam kebijakan penempatan buruh migran adalah mengedepankan keunggulan komparatif (comparative advantage). Hal ini dilakukan untuk menghadapi kompetitor sesama negara pengirim, Philipina yang telah mapan dan merajai penempatan buruh migran di seluruh dunia. Keunggulan komparatif yang selalu disuguhkan oleh Indonesia adalah buruh muda usia, murah upah dan penurut. Mayoritas mereka adalah buruh migran perempuan. Inilah akar mula kebijakan komodifikasi buruh migrant Indonesia. Dengan demikian tidaklah mengherankan jika produk-produk kebijakan penempatan buruh migran tak pernah menyentuh persoalan pokok buruh migran mengenai perlindungan.

Tanpa proteksi
Ketika remitansi dianggap sebagai penggerak ekonomi negara ini, kebijakan pun berubah menjadi kebijakan operasional, dimana negara tampil turut serta dan memobilisasi sebesar-besarnya migrasi tenaga kerja ke luar negeri.

Transformasi kebijakan penempatan buruh migran tersebut makin menegaskan peran negara yang hanya mengambil untung dari proses migarasi tenaga kerja namun tidak memperhatikan tugas utamanya sebagai pelindung warga.

Kebijakan yang paling signifikan dalam penempatan buruh migran Indonesia ke luar negeri adalah UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI ke Luar Negeri. Walau pada awalnya rancangan undang-undang ini diinisiasi oleh aktivis buruh migran, dalam proses legislasinya dibajak oleh pemerintah dan parlemen sehingga undang-undang tersebut tidak benar-benar melindungi para pekerja. Mandat yang telah dilaksanakan pemerintah Indonesia berdasar undang-undang ini adalah pembentukan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Pembentukan institusi ini juga menimbulkan kontroversi karena dilakukan secara tidak transparan dan sangat terasa nuansa konsesi politik.

Dewasa ini, masalah perdagangan manusia (human trafficking) tidak hanya merupakan sebuah gejala sosial yang ada ditengah masyarakat dengan korban terbesar adalah anak dan perempuan, tetapi telah menjadi sebuah fakta yang kita hadapi. Trafficking bukanlah hal baru karena praktek serupa trafficking telah ada sejak lama, khususnya di Indonesia. Meskipun sudah ada kebijakan pemerintah yang mengatur pencegahan perdagangan orang, tidak serta-merta menghapus praktek perdagangan orang. Definisi trafficking Perdagangan manusia atau human trafficking adalah: tindakan perekrutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahguanaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain tersebut baik yang dilakukan didalam negara atau pun antar negara untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Dari definisi diatas, ada tiga hal pokok yang menjadi kerangka trafficking, yaitu : Proses: perekrutan, penampungan, pengiriman, pemindahan dan penerimaan.
Cara: ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, posisi rentan, penjeratan hutang dan memberi bayaran/manfaat.
Tujuan: bentuk-bentuk eksploitasi itu adalah pelacuran, kerja/pelayan paksa, perbudakan fisik/seksual/organ reproduksi, memindahkan/transplantasi organ atau jaringan tubuh dan memanfaatkan tenaga/kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan.

Sebagaimana telah diatur dalam undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), undang-undang ini dapat digunakan untuk menjerat oknum yang melakukan tindak pidana perdagangan manusia. Namun sangat disayangkan bahwa pemahaman dan interpretasi yang masih beragam terhadap pelaksanaan UU No. 21 tahun 2007 dari Aparat Penegak Hukum: (Polisi, Jaksa, Hakim maupun Advokat) merupakan salah satu kendala dalam penanganannya. Misalnya, aparat kepolisian sebagai pintu gerbang penanganan proses hukum khususnya yang bertugas di SPK (sekarang PPA) masih tidak mengetahui UU No. 21 tahun 2007, akan berakibat pada pemahaman cara penanganan kasus trafficking yang kemudian menyamakan proses penanganan kasus trafficking dengan kasus pidana lain. Kendala tersebut tidak hanya datang dari penegak hukum saja, tapi juga dari pihak keluarga. Keluarga enggan untuk menceritakan masalahnya dengan berbagai alasan, bahkan tidak jarang muncul kecurigaan terhadap pendamping. Oleh sebab itu, perlu terus dilakukan kerja-kerja membangun pemahaman yang komprehensif kepada seluruh pihak termasuk aparat penegak hukum.

Faktor-faktor yang menyebabkan adanya kasus trafficking antara lain: situasi kemiskinan, kurangnya lapangan pekerjaan, keinginan cepat kaya, tingkat pendidikan yang rendah , kurangnya kesadaran, tingkat pengangguran yang tinggi, kebutuhan akan tenaga kerja murah dan pelayanan seks, konflik atau bencana alam, kurangnya informasi atau perencanaan kedepan, kurangnya informasi yang jelas tentang kota atau negara tujuan, kebijakan imigrasi yang ketat sehingga orang lebih memilih jalur illegal, menaruh kepercayaan yang begitu besar kepada agen atau perekrut. Faktor budaya Peran perempuan dalam keluarga. Norma budaya menekankan bahwa peran perempuan sebagai istri dan ibu rumah tangga. Tetapi saat ini perempuan juga sebagai pencari nafkah keluarga. Rasa tanggung jawab dan kewajiban seperti itu membuat banyak perempuan juga bermigrasi untuk bekerja agar dapat membantu keluarga. Peran anak dalam keluarga. Kepatuhan terhadap orangtua, jeratan utang dan kewajiban untuk membantu keluarga membuat anak-anak rentan terhadap trafficking.

Saran
Pemerintah dan gereja dan masyarakat hendaknya bekerjasama membangun kepedulian terhadap permasalahan sosial yang ada didalam masyarakat. Membentuk tim khusus penanganan dan pendataan lengkap masyarakat NTT secara berkala. Melakukan sosialisasi trafficking secara rutin kepada masyarakat. Membentuk shelter serta pendampingan bagi para korban. Memberikan beasiswa dan bantuan modal bagi perempuan dan anak serta masyarakat yang kurang mampu.

Komentar