Dalam rangkaian
belajar Multikultur, pada tanggal 7 September 2013, mahasiswa-mahasiswa yang
tergabung di Stube HEMAT Yogyakarta mengunjungi lembaga PERCIK di Salatiga,
kurang lebih 88 km arah timur kota Yogyakarta. PERCIK, kepanjangan dari
Persemaian Cinta Kemanusiaan, adalah sebuah lembaga yang bergerak di bidang
penguatan masyarakat sipil (Civil Society) yang memakai kearifan lokal tempat
masyarakat yang bersangkutan hidup dan beraktivitas sehari-hari. Menurut Pradjarto,
S.H., Ph.D, salah satu yang menjadi narasumber PERCIK, kebenaran itu muncul dari
tataran lokal, bukan secara struktural dirumuskan pemerintah daerah maupun pusat.
Masyarakat lokal
dalam suatu daerah juga memiliki kebenarannya sendiri seturut nilai-nilai
yang mereka anut sehari-hari. Lebih lanjut, melalui berbagai proses kearifan
lokal maka lahirlah apa yang kemudian disebut agama, tata kehidupan,
politik, hukum, adat istiadat, dan kebudayaan. Sentuhan khas PERCIK dalam
menggarap isu-isu sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat inilah, yang
menjadi daya tarik peserta dari Stube HEMAT untuk memperdalam pemahaman
Multikultur di PERCIK.
Multikultur ala
PERCIK memberi dasar bagaimana seseorang bersikap hidup, karena hal ini
langsung berkaitan dengan realita pluralitas dari norma yang ada. Namun perlu
dicermati bahwa belum tentu dalam norma tersebut kaidah Multikultur mendapat
perhatian dan digali maknanya. Orang hanya melihat permukaan saja, tetapi belum
tentu memahami apa yang ada di dalam kehidupan bersama. Pradjarto
kembali menegaskan bahwa menerima perbedaan dengan rasa hormat itu adalah
Multikultur. Membuang sikap egois, menerima perbedaan, ataupun menghormati
kesetaraan harus dilakukan terus-menerus dalam hidup kita. Perbedaan
hidup antara Primitif dan Modern hanya dibatasi oleh sikap hidup masing-masing
orang. Karena kehidupan modern sudah merusak berbagai sendi kehidupan maka orang
ingin kembali pada kearifan lokal.
Diskusi yang
dilakukan di lembaga ini sangat menarik karena dilakukan dalam
kelompok-kelompok kecil dengan beberapa tema, seperti lingkungan, perkawinan
lintas iman, Sobat muda dan Sobat anak. Para peserta diajak membedah realita
kehidupan sehari-hari dan memetakan persoalan dalam kehidupan di tempat asal
dan tempat di mana mereka berada saat ini. Masalah lingkungan adalah hal yang
sangat nyata dalam kehidupan dan tidak dapat dipisahkan karena lingkungan
mempengaruhi kehidupan manusia sampai pada kebudayaannya. Manusia tergantung pada
lingkungan dan alamnya. Adapun yang berkaitan dengan perkawinan lintas iman, hal
ini tidak bisa dihindari karena adanya keberagaman kepercayaan dalam kehidupan.
Jika ini terjadi maka yang harus diperhatikan adalah bagaimana mengkomunikasikannya.
Komunikasi dengan keluarga
dan komunikasi antar pasangan penting dilakukan agar mereka benar-benar sadar dan
siap untuk menjalani keputusan yang diambil. Komunikasi adalah kunci penting
dalam mengungkap perbedaan, karena tidak mudah orang bisa menerima perbedaan
apalagi menyangkut agama. Anak-anak muda perlu disadarkan akan
keadaan sosial yang sudah terkotak-kotak oleh berbagai kepentingan, supaya mereka
tidak larut dalam perbedaan ini, karena lingkungan sosial mempengaruhi
perkembangan setiap pribadi baik jiwa maupun pola pikir. Orang tua harus turut
andil memperkenalkan kehidupan yang beranekaragam kepada anaknya dengan mengajarkan
langsung dari pengalaman si anak atau pengalaman orang tuanya.
Sebagai kesimpulan
akhir Pradjarto menekankan bahwa Multikultur harus kita kenal dan
kita harus sadar bahwa hidup kita sering tertutup paradigma yang ada.
Ketika kita membuka diri, akan banyak pertanyaan yang muncul sehingga jawabannya
juga harus nyata. Jika ingin melihat persoalan Multikultur silahkan lihat hal-hal
yang ada di sekitar kita. ***
Komentar
Posting Komentar