Renunganku dari Sumba
Oleh Novia Sih Rahayu
Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya akan melangkahkan kakiku ke sana. Senang
sekali rasanya mendapat kesempatan ikut program Exploring Sumba. Selain berbagi
ilmu, aku bisa berpetualang dan menjelajah tanah Sumba Timur, sebuah kabupaten
dengan padang sabana yang luas, tanah bebatuan, tanah pasir, budaya marapu yang
masih kental, dan adat istiadat yang cenderung mewah. Meski diawali
kebingungan, karena akan pergi ke tempat yang jauh, yang belum pernah ku
kunjungi, aku berusaha membaca artikel tentang Sumba Timur, menonton video
wisata di sana, dan mempersiapkan bahan untuk sharing tentang public speaking.
Rabu, 23 April 2014, sekitar pukul 12.00 WITA, inilah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di tanah Sumba Timur. Mula-mula aku melihat bandara kecil, seperti tanah lapang, bahkan sempat tidak percaya kalau itu adalah sebuah bandara. Selanjutnya kota Waingapu, aku merasa seperti berada di kecamatanku sendiri, namun cuaca kota ini lebih ekstrim dengan panas menyengat. Aku tinggal di rumah Pak Bangun Munthe, Kepala Dinas PU Waingapu. Istrinya adalah Sekretaris DPRD Sumba Timur, yang kupanggil Mama Arif. Mereka dianugerahi 4 orang anak : Arif, Odi, Ico, dan Riris. Aku senang dan nyaman tinggal bersama keluarga ini, seperti tinggal bersama dengan keluarga sendiri. Aku salut dengan Mama Arif karena beliau mengerjakan pekerjaan rumah dengan sigap tanpa mengeluh sedikitpun, walaupun setiap hari beliau harus mencuci gelas dan piring lebih dari 1 ember besar. Bekerja di kantor, melakukan pekerjaan rumah, memperhatikan anak dan suami, dan sebagainya bukanlah pekerjaan mudah. Di saat aku harus bedrest karena sakit haid, keluarga itu memperhatikanku. Bahkan ketika aku sampai di Jogja, Mama Arif sms bahwa Riris ingin mengembalikan topi pemberianku agar aku tetap di Sumba dan tidak pulang ke Jogja. Sungguh mengharukan.
Semula, aku berpikir bahwa orang Sumba itu sulit berinteraksi
dengan orang lain, cenderung memasang muka serius dan tidak ramah, kurang
menghargai orang lain, dan mudah marah. Setelah aku berinteraksi langsung
dengan mereka, apa yang aku pikirkan ternyata salah. Mungkin mindsetku tumbuh dari pengalamanku
dengan teman sekelasku dulu, bukan orang Sumba secara keseluruhan.
Aku takjub dengan teman-teman yang mengikuti sharing public speaking dan jurnalistik. Selain
aktif di Stube HEMAT Sumba, mereka juga aktif di organisasi kepemudaan lainnya,
seperti GMNI Waingapu. Rasa minder sempat menyelimutiku karena kebanyakan dari
mereka fasih menyampaikan pendapat di depan umum. Akan tetapi rasa itu lenyap
ketika mereka memberi kesan positif tentang apa yang aku bagikan berkaitan
dengan public speaking. Mereka
memperoleh ilmu dan pemahaman baru yang mereka tidak ketahui sebelumnya. Aku
pun optimis dalam membagikan ilmu yang aku peroleh selama kuliah. Aku menyadari
bahwa ketika aku membagikan ilmu, aku pun belajar. Belajar mengaplikasikan ilmu
yang aku peroleh, belajar memahami audience,
belajar menghargai pendapat orang lain, belajar untuk tidak sombong, belajar
meminta penyertaan dan bimbingan Tuhan, dll. goal yang aku sampaikan adalah tidak menyia-nyiakan kesempatan
untuk berbicara di depan umum dan mereka tidak menyerah dalam mengasah
kemampuan berpublic speaking.
Hidup memang perjuangan. Satu tempat berkelimpahan dengan
sumber daya alam, tapi di tempat lain tidak, seperti di Kanjonga Bakul, dan Praipaha. Aku merasa
sedih ketika melihat serombongan anak kecil memegang jerigen untuk mengambil
air, karena di sana persediaan air sangat terbatas. Mendapatkan air untuk minum
saja sudah bersyukur, apalagi untuk mandi. Di tempat itu tubuhku benar–benar di
tempa. Sehingga aku yang biasanya mandi 2 kali sehari dengan limpahan air, aku hanya mandi 1 kali selama 3 hari di
Praipaha, itupun hanya dengan 3 ember kecil. Air benar-benar nikmat Tuhan yang
luar biasa. Aku tidak akan menyia-nyiakannya lagi.
Exploring Sumba melatihku lebih analitis, mandiri, bijaksana,
dan bertanggungjawab. Kegiatan ini membuatku lebih tahan banting, baik secara
jasmani maupun mental karena dituntut menyesuaikan diri dengan cuaca, tempat, waktu
kegiatan, karakter orang, dan makanan yang ada. Exploring Sumba ini juga
membuatku belajar untuk bisa berbagi dengan orang lain, bukan hanya dalam hal
materi semata, tetapi juga ilmu pengetahuan, pengalaman, kebahagiaan, semangat,
dll. Semakin banyak tempat-tempat yang ingin aku kunjungi dan kenali
karakternya, baik orang maupun daerahnya.
Aku sangat berterimakasih kepada Stube HEMAT Yogyakarta dan
Stube HEMAT Sumba yang telah memberi kesempatan dan menerimaku dengan baik.
Terimakasih untuk teman-teman yang telah menyediakan waktu untuk berbagi ilmu,
pengalaman, dan berpetualang bersama. Aku harap kegiatan ini menjadi awal dari
sebuah relasi yang baik. ***
Komentar
Posting Komentar